
RSA UGM) menerapkan sistem pengawasan berlapis sebagai upaya mencegah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dokter spesialis.
Direktur RSA UGM, Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B. Subsp. Onk (K) mengatakan keberadaan dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) sebagai pengawas utama menjadi kunci memastikan proses pembelajaran yang aman secara fisik, tetapi juga etis dan profesional.
“Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” ujar Darwito, Jumat (18/4/2025).
Sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual, kata dia, RSA UGM telah memasang kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis di lingkungan rumah sakit.
Menurut dia, sistem pemantauan tersebut penting untuk memastikan seluruh aktivitas terekam dan dapat diawasi dengan baik.
“Kehadiran sistem pemantauan ini menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran dan memastikan transparansi dalam interaksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Darwito, RSA juga menerapkan pengaturan sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan untuk meminimalkan potensi kerentanan sekaligus menjaga kenyamanan seluruh peserta didik.
“Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan,” tutur Darwito.
Dalam pelaksanaan pendidikan klinis, RSA UGM menerapkan sistem supervisi bertahap untuk para residen, mulai dari tahap merah, kuning, hingga hijau.
Masing-masing tahap memiliki batasan kewenangan tindakan medis yang hanya dapat dilakukan di bawah pengawasan ketat DPJP.
“Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh, tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP,” katanya.
Meski saat ini belum memiliki pelatihan khusus yang berdiri sendiri mengenai kekerasan seksual, Darwito memastikan materi terkait telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan.
Topik macam kekerasan seksual, perundungan, dan penyalahgunaan wewenang diberikan sebagai bagian dari pembekalan awal residen.
“Semua residen di sini menandatangani kontrak bahwa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau melanggar, ya dikembalikan ke fakultas,” ujar Darwito.
Ia menegaskan apabila kekerasan seksual terjadi di luar lingkungan rumah sakit dan di luar jam pendidikan, hal tersebut menjadi ranah hukum.